Dapatkan Informasi dan Artikel Terbaru Dari Blog Ini dengan Menambahkan Ke Daftar Favorit [ Klik Disini ]

Table of Content

Kartiniku...


Pernah kau lihat ibumu menangis? Atau pernahkah ibumu menuntut uang yang banyak disamping nasibmu yang rumit? Membiarkanmu menjalani hidup dengan keputusasaan? Lantas melakukan pembebasan tanpa kawalan? Ibu tidak pernah cengeng, tidak mau menunjukkan air matanya di depan orang ramai, termasuk kepada sang buah hati. Yang ibu hanya menangis di tempat persembunyiannya, lalu berlutut memohon kepada Tuhannya supaya ia diberi kekuatan untuk mensyukuri semua yang terjadi. Meskipun ia rela menjadi orang pertama....di depan ketika anak yang dikasihinya beroleh ancaman. Ibu juga siap mengambil langkah di belakang untuk mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi, walaupun jalannya sudah tersaruk-saruk itu sudah menjadi harga mati baginya meski anaknya tidak pernah menoleh dan melihat ke belakang seraya berkata “Ibu, jangan atur aku”.

Ibu tidak pernah menghukumku untuk berhenti sekolah karena sebuah kesalahan. Justru ia sanggup meninggalkan pekerjaan demi melihatku aman. Ketika seorang ibu marah, ia sudah siapkan apel terbaik untuk mengobati tangisku. Dia juga memberiku kue pai yang lezat sementara ia tak pernah merasakan kue itu sebelumnya. Ibu membelikanku pakaian bermerek meski bajunya sendiri tak ubahnya seperti kain lap. Pernahkah ibu menyesalinya? Sekalipun tidak, malah ibu bangga dia mampu melakukan semuanya itu dengan ketulusan. Ia sungguh tau bahwa kesedihanku merupakan miliknya seutuhnya. Ibu menyimpan, menutupnya sangat rapat di dalam hatinya. Seberapa penting tujuan seorang anak, besar atau kecil pun itu seorang itu yakin bahwa ia akan mengantarkan anaknya kepada satu tujuan pasti. Karena yang ibu tau hanya mengharapkan kebahagiaanku dalam sebuah tujuan yang lebih baik dari hidupnya.

Dia ibu yang baik, mengajarkanku beribadah padahal sebenarnya ibu hendak menunjukkanku kepada Tuhannya bahwa inilah anak yang sering ia tangisi dan sangat ia sayangi. Sampai suatu hari, ibu sedang sakit parah, kepadaku ia berpesan supaya hidup dalam kejujuran, semangat dan kesederhanaan, layaknya seorang pejuang yang tak pernah berhenti sampai titik darah penghabisan dan tanpa pamrih. Tapi disatu sisi, ada satu yang tidak ibu beritahukan kepadaku. Sebuah harapan besar kepada Tuhannya supaya ia lekas diberikan kesembuhan. Ingin sekali rasanya dia menghidangkan makanan kesukaanku walaupun untuk sekali saja. Hanya aku yang ada dipikirannya sampai kelak Tuhannya memanggilnya.

Ibu adalah manajer terbaik di dunia. Ia tidak sekolah tapi perhitungannya lebih cermat dari sekolah tinggi. Ibu tidak sekolah tapi ia bukan bodoh. Ibu bukan superman, tapi beban mana yang tidak bisa ia angkat? Melebihi kekuatan seorang lelaki. Namun ia tak pernah membenci suami yang tidak mencukupi. Ibu tak akan acuh untuk menyanggupi semua kekurangan finansial itu. Mondar-mandir mencari peluang yang bisa diolah menjadi uang sudah biasa ia lakukan. Hampir tidak ada gengsi buatnya. Dia cuma ingat anaknya yang dirumah, besok mau makan apa, besok beli susu pakai apa, besok uang sekolahnya bagaimana, semua itu dipikirkannya sendiri dan hampir dikerjakannya tanpa keragu-raguan. Semua itu membuatnya semakin paham bahwa tujuan hidupnya bukan untuk dirinya, tapi untuk seorang anak dengan seribu cita dan mimpi. Tatkala cita tak seperti harapannya, ibu bersiap menjadi tonggak dan matras supaya kegagalan citaku tak begitu menyakitkan. Ibu menanggung semuanya itu tanpa menghiraukan lukanya. Siapa yang lebih dulu bangkit dari kegagalan itu? Jawabnya adalah ibu, dialah orang pertama yang mengulurkan tangan mengajakku bangun dan berjuang kembali.

Disaat asmaraku sedang mekar bak bunga bakung di musim semi, orang yang pertama yang menaruh rasa cemburu adalah ibu. Dia cemburu karena cemas wanitaku tidak sehebat ibu. Ibu juga sangat khawatir seseorang akan menyakiti perasaanku. Sungguh, kesedihanku akan melukai hatinya. Dan ketika hal itu terjadi, hanya pundak ibu satu-satunya yang kubutuhkan, jelas bukan milik orang lain. Tanpa ku sadari, ibu tak pernah membatasi ruang cintaku yang begitu membara dan bentakanku membuatnya sedih dan kembali mengadu kepada Tuhannya. Sampai suatu masa dimana ibu akan berkata dengan nada pelan dan terbata-bata; “anakkku, aku sudah mengajakmu berjalan sejauh ini, kini aku tak sanggup lagi. Lakukanlah yang baik seperti yang ibu lakukan kepadamu. Sungguh aku sudah tidak menyesal lagi, aku akan pergi, namun kasih dan sayangku bersamamu selamanya”.

Ibu adalah cermin perilaku yang sejati. Wanita sederhana yang harum namanya. Tak pernah lupa untuk berjuang tanpa pamrih. Bagiku, Ibu adalah KARTINI ku.

Posting Komentar