Jejak Seribu Penyu - Part 4
5 min read
“Bu Devina, saya minta izin, tidak bisa mengikuti acara ini sampai selesai, tugas pembinaan untuk para perangkat desa sudah menunggu, pamit Via pada Bu Devina, seraya menyerahkan lembar penilaian yang telah terisi lengkap. “Wah, cepat sekali. Objektif tidak ini nilainya? Bu Devina sejenak meneliti isi lembaran yang diserahkan. “Insya Allah, Bu. Kalau tidak yakin, Ibu boleh cek ulang.
Geleng kepala Bu Devina mengiringi langkah Via yang bergegas keluar dari balai desa. Sungguh, Via tak yakin dirinya mampu berkonsentrasi penuh, jika harus melakukan satu putaran lagi. Di sini terlalu ramai.
Dimensi Annisa
Tambelan, medio Januari 2006
Sesosok pria berdiri tegak di batu karang, asyik merekam aktivitas penduduk, termasuk wanita pujaan hatinya yang tengah melepas puluhan penyu. Kaki-kaki kecil hewan melata itu bergerak cepat, dan hanya dalam hitungan detik, menyatu dengan ombak laut yang petang ini beriak tenang, sebelum akhirnya satu per satu lenyap dari pandangan.
Nisa tersenyum, tangannya melambai-lambai, seakan tengah melambai pada sahabat karib yang hendak berlayar mengarungi samudra. Sesaat kemudian kedua tangannya membentuk corong di depan bibir, lalu berteriak nyaring, “Hoooi... turunlah dari situ! Bual (bohong) saja nak melepas penyu, tapi kerja Abang memotret terus!
Iwan melangkah turun dengan hati-hati, lalu berlari kecil menghampiri Nisa yang menyambutnya dengan wajah merengut.
“Kalau semua orang melepas penyu, lantas siapa yang akan merekam jejak penyu-penyu itu saat terakhir kali meninggalkan tempat persinggahannya, Dek? Nisa mengangguk-angguk. “Ao’ (iya) lah. Belum tahu juga tahun depan kelak aku masih akan melepas penyu.
“Maksudmu? Iwan menatap mata bening di depannya lekat-lekat. Ada siratan makna seolah tengah mengisyaratkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi lagi.
“Bukannya aku pesimistis, Bang. Penyu-penyu itu tampak saja kecil badannya, tapi makannya kuat sangat. Dua hari bisa habis 20 kilogram ikan. Manalah tahan biayanya. Tak mungkin ku berharap pada Pakcik Sahak dan Makcik Salmiah. Penghasilan mereka hanya sekadar cukup untuk makan sehari-hari.
Iwan duduk mencangkung beralas gundukan pasir, lalu meletakkan camcorder-nya yang masih dalam posisi on sedikit lebih tinggi. Dalam diam dan berpikir-pikir, sempat menyeruak rasa kagumnya pada Nisa yang telah turut duduk di sisinya.
Annisa, hanya raganya yang terlahir sebagai gadis pulau, pulau nan jauh terpencil, namun pemikirannya jauh melampaui apa yang dapat terlihat dari sisi terluar pulau itu. Telah setahun lebih gadis itu mengorbankan waktu, uang, dan tenaga untuk mempertahankan populasi penyu dari terus menyusut, dan selama itu pula, telah berpuluh kalimat dan kritik pedas yang diembuskan ke telinganya.
Namun, simpati masyarakat pun lambat laun turut mengalir, meski alirannya tak lebih deras dari gerimis. Sejumlah penduduk yang mulai memahami akan pentingnya menjaga kelestarian hewan langka, rela membantu Nisa untuk mengembangbiakkan tukik dan bersama-sama melepas penyu kembali ke laut. Terakhir, tadi pagi saat Nisa mengajak Iwan melihat-lihat keramba, tak kurang telah ada tiga ratusan penyu dan sisik di dalamnya. Dan, yang baru saja dilepas adalah puluhan penyu yang usianya telah mencapai 15 bulan.
Penyu-penyu itu memang harus dibesarkan terlebih dulu sebelum dikembalikan ke laut, karena penyu yang dilepas saat usianya masih dini, apalagi yang masih berwujud tukik, dalam sekejap akan menjadi santapan empuk para predator, burung camar, elang laut, juga ikan-ikan karang. Dan tentu, tujuan penyelamatan akan berakhir sia-sia, karena ketidakmampuan hewan ringkih itu bertahan di habitat asalnya dengan hukum rimba yang sebenarnya berlaku di dalamnya.
“Berarti kendala terbesarmu saat ini soal biaya?”
Nisa mengangguk.
“Jika kau mau, nanti akan kuhubungkan dengan yayasan yang gencar memperjuangkan penyelamatan satwa langka. Nanti mereka akan datang langsung untuk meninjau, dan jika memang dianggap layak diperjuangkan, mereka akan membantumu mengajukan proposal untuk mencari kucuran dana demi upaya penyelamatan.”
Sepasang mata bening Nisa langsung memancarkan binar terang. “Benar demikian, Bang? Cepatlah kabari aku kalau Abang sudah menghubungi mereka. Tak sia-sia aku punya kekasih macam Abang.”
“Jangan sembarang memuji, Nisa. Sekarang aku sedang tak butuh pujian, tapi aku sudah kempunan (sangat ingin) bingke berendam. Sudahkah kau sisihkan untukku?”
Nisa mengangguk-angguk. “Tentu. Ada tiga loyang kusisihkan, dan Abang harus habiskan semuanya.”
“Boleh! Siapa takut!”
Semburat jingga sang surya yang hendak kembali ke peraduan, mengiringi langkah mereka meninggalkan pantai dengan jejak-jejak kecil kaki penyu yang tercetak tak beraturan di hamparan pasir. Jejak-jejak kecil yang semuanya memiliki satu tujuan akhir: laut.
Dimensi Lyvia
Senja telah merangkak pekat ketika kegiatan pembinaan perangkat desa tuntas sebelum azan magrib berkumandang. “Kita masih punya waktu beberapa jam sebelum malam berakhir. Kau mau ikut dengan kami atau menyaksikan pertunjukan kesenian?” tanya Rachmat pada Via. Mereka, berenam orang semuanya, duduk melepas penat di salah satu kopi tiam (sebutan untuk kedai kopi) usai acara pembinaan dan menunaikan salat Magrib di masjid.
Mereka pasti akan mengerumun di sana. Mungkin juga dia.
“Aku ikut kalian saja. Kalian mau ke mana?”
“Kita akan jalan-jalan. Benar-benar berjalan kaki. Pak Burhan mengundang kita makan malam ini. Kau baru pertama ini kan datang kemari? Sayang kalau tidak merasakan udara Tambelan di malam hari, minim polusi, juga minim ribut.” Demikian Ian setengah berpromosi, karena ia adalah yang rutin mengikuti kegiatan kunjungan kerja setiap tahunnya.
Raungan gas motor melintas di depan kopi tiam. Pengendaranya hanya membunyikan klakson tanpa mengurangi kecepatan ataupun menyapa. Via langsung mengenalinya. Itu Fei. Seorang diri melajukan motor, entah hendak ke mana.
“Dasar makhluk angkasa luar! Aneh-aneh saja kelakuannya.” Ian mengedumal gusar seraya menyeruput seteguk kopi hitam yang telah seperempat jam lalu terhidang di depannya. Kopi hitam yang disajikan dalam cangkir Cina berbibir tebal, memang paling sedap kalau dinikmati sedikit demi sedikit. Ada sensasi yang berbeda saat menghirup kopi dari bibir cangkir mungil dengan ketebalan hampir setengah senti itu ketimbang minum dari cangkir kopi biasa. Apalagi, hangat kopi di dalam cangkir ini diyakini bertahan lebih lama. Tak heran jika para pecandu kopi betah duduk berjam-jam di kopi tiam cukup ditemani dengan secangkir kopi hitam yang disajikan dalam cangkir Cina berbibir tebal.
“Memang begitukah tabiat Fei?” tanya Via, seraya meneguk kopinya. Dirinya memang belum lama bertugas di sekretariat, jadi belum mengenal betul siapa Fei selain watak luarnya saja.
“Dulu tidak begitu. Sejak beberapa tahun belakangan ini saja mulai aneh-aneh. Jangan ditanya sudah berapa kali ia melempar kembali surat tugasnya. Entah apa pula yang sudah melunakkan hatinya untuk ikut dalam kunjungan tahun ini,” jawab Rachmat.
“Berarti, ada sesuatu yang buat dia berubah?”
Rachmat menggedikkan bahu. “Bibir Fei selalu tertutup untuk urusan pribadi. Aku dulu sempat mengira, sikapnya itu justru untuk menutupi kalau dirinya seorang gay!”
“Hei, jangan sembarang menuduh, Bang!” Marsha cepat memprotes.
Sesaat, ada getar halus yang tak teraba. Suasana kopi tiam yang minim penerangan, mendadak terasa kian remang. Dan, semua perubahan itu hanya mampu dideteksi oleh gelombang sinyal di benak Via. Membuatnya spontan berdiri. “Kita langsung ke rumah Pak Burhan?” sarannya tiba-tiba, seraya mengeluarkan dompetnya.
Penulis: Riawani Elyta
Copyright © 2011. Sahabat Teknologi . All Rights Reserved